KONFLIK KAWASAN PERAIRAN WONG TOBO DAN PERKEBUNAN SAWIT DI KABUPATEN MESUJI
Main Article Content
Abstract
Konflik agraria merupakan isu konflik yang paling banyak terjadi di Kabupaten Mesuji. Pihak yang paling sering bergesekan adalah masyarakat lokal dan pihak swasta / perusahaan. Hal ini disebabkan karena informasi yang terbatas dimiliki masyarakat lokal khususnya terhadap konsep “property right” tanah. Legal formal kepemilikan lahan / tanah yang dikelola perusahaan tertuang secara tertulis yang sangat berbeda dengan masyarakat lokal di kawasan perairan Wong Tobo yang sifatnya tradisi lisan dari generasi ke generasi. Perbedaan ini yang akhirnya memicu gesekan dan kerentanan konflik perbatasan di Kawasan Perairan Kabupaten Mesuji. Oleh sebab itu tujuan penelitian ini adalah melakukan analisis deskriptif kualitatif dan melakukan identifikasi konflik di kawasan perairan Wong Tobo dan perkebunan sawit di Kabupaten Mesuji. Pendekatan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan metode deskriptif. Pengumpulan data melalui wawancara mendalam kepada anggota polisi yang pernah bertugas dan menangani konflik di kawasan perairan di Kabupaen Mesuji berjumlah 5 orang, staf/ karyawan perusahaan perkebunan kelapa sawit 2 orang, dan penjaga kebun orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Wong Tobo adalah kelompok masyarakat yang berasal dari kampung asli/pribumi yang ada di kawasan perairan diantaranya Kampung Kagungan Dalam, Sri Tanjung, dan Nipah Kuning. Perkebunan kelapa sawit berdiri sejak tahun 1995 di lahan pemerintah dengan HGU. Konflik yang muncul karena “property right” yang tidak jelas antara masyarakat dan perusahaan. Masyarakat di kawasan perairan melakukan tuntutan plasma kepada perusahaan. Dalam risalah masyarakat lokal bahwa kelompok masyarakat merasa memiliki lahan sehingga merasa mungkin untuk menuntut plasma dimana tanah masyarakat dapat diserahkan kepada perusahaan dan dikelola. Akan tetapi dalam pandangan perusahaan merasa tidak pernah ada lahan masyarakat yang dikelola. Sehingga sebagai alternatif untuk menangkap aspirasi masyarakat dimulai dengan Desa Kagungan Dalam yang mengajukan permohonan untuk desain konsep kerjasama plasma. Proses dilakukan dengan formal mulai dari pengecekan kepemilikan sampai pengukuran untuk bisa digarap. Desakan dan tekanan yang kuat untuk memiliki akhirnya menimbulkan kerusuhan pada tahun 2011. Pecahnya konflik tidak dapat diprediksi, akan tetapi polisi sebagai petugas keamanan dan menciptakan penertiban cukup memberikan peran perlindungan agar meminimalisir kerugian dan korban.
Article Details
Mustofa, Riyadi and Riati Bakce. 2019. Potensi Konflik Lahan Perkebunan Kelapa Sawit. (Unri C onference Series: Agriculture and Food Security 1:58–66).
Utari, Sri Rahmi, Zaiyardam Zubir, and Lindayanti Lindayanti. 2021. Analisa Konflik Perkebunan Kelapa Sawit Di Provinsi Riau Antara Masyarakat Dengan Perusahaan (Studi Tentang PTPN V, PT SRK 1980-2019). (NUSANTARA : Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial 8(2):310–30).

This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.